Latest Stories

Menulis dengan Baik, Benar, kemudian Tenar.

by: Posted on: 21 October, 2016 No Comment

Saya mulai aktif dengan kegiatan tulis-menulis ketika duduk di bangku kuliah dan berkegiatan di organisasi surat kabar kampus. Ada sebuah kalimat yang kemudian selalu diulang-ulang dan ditanamkan ketika saya dan rekan-rekan akan menulis hasil liputan. Kalimat tersebut adalah “show it don’t tell it.” Kalimat tersebut kini kami anggap sebagai classic writing rule, bagi yang ingin menulis berita bergaya feature.

Show don’t tell merupakan anjuran dasar dalam menulis, dimana kekuatan deskripsi dan kepekaan untuk memberi “rasa” pada tiap kalimat menjadi sangat penting.

Sekarang, di era digital dimana ratusan bahkan ribuan tulisan terbit tiap harinya, penulis, mau tidak mau memang dituntut lebih kreatif untuk memikat pembaca. Farid Gaban, Seseorang jurnalis senior pernah menyatakan bahwa saat sekarang, kita harus mampu menampilkan tulisan yang dapat dikunyah oleh siapapun, ringkas, dan menghibur (jika perlu), tanpa kehilangan kedalaman—tanpa terjatuh menjadi tulisan murahan.

Farid Gaban kemudian memberikan beberapa anjuran untuk melatih kemampuan kita dalam menulis. Tulisan Farid Gaban mengenai prasyarat untuk menulis tersebut akan saya salin disini.

Semoga bermanfaat.

**

source: freepik.com

Menulis Esai

(Farid Gaban)

Kenapa esai astronomi Stephen Hawking (A Brief History of Time), observasi antropologis Oscar Lewis (Children of Sanchez) dan skripsi Soe Hok Gie tentang Pemberontakan Madiun (Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan) bisa kita nikmati seperti sebuah novel? Kenapa tulisan manajemen Bondan Winarno (Kiat) dan artikel kedokteran-psikologi Faisal Baraas (Beranda Kita) bisa dinikmati seperti cerpen?

Hawking, Lewis, Hok Gie, Bondan dan Baraas adalah beberapa penulis “pakar” yang mampu menerjemahkan tema-tema spesifik menjadi bahan bacaan bagi khalayak luas. Tak hanya mengadopsi teknik penulisan populer, mereka juga menerapkan teknik penulisan fiksi secara kreatif dalam esai-esai mereka.

Untuk mencapai keterampilan penulis semacam itu diperlukan sejumlah prasyarat dan sikap mental tertentu:

KEINGINTAHUAN DAN KETEKUNAN

Sebelum memikat keingintahuan pembaca, penulis harus terlebih dulu “memelihara” keingintahuannya sendiri akan sesuatu masalah. Mereka melakukan riset, membaca referensi di perpustakaan, mengamati di lapangan bahkan jika perlu melakukan eksperimen di laboratorium untuk bisa benar-benar menguasai tema yang akan mereka tulis. Mereka tak puas hanya mengetahui hal-hal di permukaan, mereka tekun menggali. Sebab, jika mereka tidak benar-benar paham tentang tema yang ditulis, bagaimana mereka bisa membaginya kepada pembaca?

KESEDIAAN UNTUK BERBAGI

Mereka tak puas hanya menulis untuk kalangan sendiri yang terbatas atau hanya untuk pembaca tertentu saja. Mereka akan sesedikit mungkin memakai istilah teknis atau jargon yang khas pada bidangnya; mereka menggantikannnya dengan anekdot, narasi, metafora yang bersifat lebih universal sehingga tulisannya bisa dinikmati khalayak lebih luas. Mereka tidak percaya bahwa tulisan yang “rumit” dan sulit dibaca adalah tulisan yang lebih bergengsi. Mereka cenderung memanfaatkan struktur tulisan sederhana, seringkas mungkin, untuk memudahkan pembaca menelan tulisan.

KEPEKAAN DAN KETERLIBATAN

Bagaimana bisa menulis masalah kemiskinan jika Anda tak pernah bergaul lebih intens dengan kehidupan gelandangan, pengamen jalanan, nelayan dan penjual sayur di pasar?

Seorang Soe Hok Gie mungkin takkan bisa menulis skripsi yang “sastrawi” jika dia bukan seorang pendaki gunung yang akrab dengan alam dan suka merenungkan berbagai kejadian (dia meninggal di Gunung Semeru). Menulis catatan harian serta membuat sketsa dengan gambar tangan maupun tulisan seraya kita bergaul dengan alam dan lingkungan sosial yang beragam, akan mengasah kepekaan kita. Kepekaan terhadap ironi, terhadap tragedi, humor dan berbagai aspek kemanusiaan pada umumnya. Sastra (novel dan cerpen) kita baca bukan karena susunan katanya yang indah melainkan karena dia mengusung nilai-nilai kemanusiaan.

KEKAYAAN BAHAN (RESOURCEFULNESS)

Meski meminati bidang yang spesifik, penulis esai yang piawai umumnya bukan penulis yang “berkacamata kuda”. Dia membaca dan melihat apa saja. Hanya dengan itu dia bisa membawa tema tulisannya kepada pembaca yang lebih luas. Dia membaca apa saja (dari komik sampai filsafat), menonton film (dari India sampai Hollywood), mendengar musik (dari dangdut sampai klasik). Dia bukan orang yang tahu semua hal, tapi dia tak sulit harus mencari bahan yang diperlukannya: di perpustakaan mana, di buku apa, di situs internet mana.

KEMAMPUAN STORYTELLER

Cara berkhotbah yang efektif adalah tidak berkhotbah. Persuasi yang berhasil umumnya disampaikan tanpa pretensi menggurui. Pesan disampaikan melalui anekdot, alegori, metafora, narasi, dialog seperti layaknya dalam pertunjukan wayang kulit.

**

Kata kuncinya adalah bagaimana tulisan kita dapat menjadi beda dengan fakta dan data-data. Tulisan yang menarik adalah tulisan yang mampu menuliskan data-data tersebut menjadi sebuah kalimat yang dapat dibaca dan dipahami oleh semua kalangan; tulisan yang dapat menjangkau emosi tiap pembacanya.

Lebih dari itu semua adalah bagaimana kita mampu mengasah kepekaan dan kepedulian terhadap masalah di sekitar kita. Menulis dengan baik, benar dan kemudian tenar (sebagai bonus) adalah salah satu cara mengatasi masalah sosial.

Terakhir, kita hanya perlu ingat apa yang Stephen King pernah katakan, bahwa untuk menjadi penulis, yang dibutuhkan hanyalah kemauan keras untuk menulis dan kemudian mempraktekkannya. Orang yang hanya mempunyai kemauan untuk menulis namun tidak pernah melakukannya maka ia sama saja dengan bermimpi untuk memiliki mobil, tanpa ada usaha dan kerja keras untuk memilikinya. (Ariyanti)

 

Tags:

Share Comments

Leave a Comment: